Rabu, 15 Februari 2017

Duhai Aku yang Merajai Kamu

Duhai Aku Yang Merajai Kamu
Jika cinta sudah terombang ambing oleh lautan asmara, maka bagaimanalah aku bisa berlari dari deburan ombak yang menggulungku dalam pekatnya samudera rindu.
Dan bahtera sang kasih tak jua kunjung menepi melintasiku, menjauh semakin jauh hingga aku tak lagi melihatnya.
Pikirku nyalang dalam sekejap, mungkin dia takut terperosok oleh rindu yang menderu hingga menyeretnya jauh ke dalam gelombang cinta. Atau mungkin dia khawatir tak mungkin kuat dan bertahan melampaui batas sang kekasih. Sepi. Aku bertahan.
Maka kuputuskan berbalik ditengah hempasan gemuruh sang badai. Kupaksakan kaki untuk menghentak air bah yang dingin kuat menghantam. Aku ngilu, berliter-liter air masuk ke paru-paru. Nafasku memburu namun ku tetap tersadar.
Itu pulau kita sudah dekat. Lihatlah. Bukan lagi bahtera yang sepintas lalu indah di kejauhan. Namun ini nyata, ini istana tak bertepi, ini tak mengada-ada. Kakiku sudah semakin kokoh untuk sekedar menyusuri di daratan. Hingga akupun tak tahu mana ujung mana pangkalnya. Semua menakjubkan. Ini luar biasa.
Indah nian, duhai bahtera lihatlah istanaku, istana rindu yang tak pernah bertepi. Istana ilmu yang mengalur lepas memikat memesona. Istana cinta yang bertahtahkan kepercayaan pengorbanan kedamaian dan kesucian. Istana ukhuwah yang berbalut kasih sayang dan harapan. Ini istanaku, istana-istana maha dahsyat bahkan lebih indah dari dunia dan seisinya.
Maukah kau melihatnya lebih dekat. Lihatlah ke sini. Lekat kau pandang di binar mataku. Temukan istanamu. Di sini, di dalam hatiku.

Manisfu Sepshofaro, dalam balutan malam gemintang, 13 Februari 2017, Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar